Film “Crocodile Tears” Karya Anak Bangsa Tayang Perdana di TIFF
Bintangtamu.id – “Crocodile Tears” bakal tayang di Toronto International Film Festival (TIFF).
Film ini menjadi debut sutradara anak bangsa Tumpal Tampubolon.
“Crocodile Tears” menghadirkan kisah Johan. Ia tinggal sendirian dengan ibunya di sebuah peternakan buaya.
Ibu dan anak itu hidup dalam tempat terasing dengan hanya seekor buaya putih sebagai kesayangan mereka.
Kehidupan mereka yang damai terganggu ketika Johan jatuh cinta pada seorang gadis di kota itu, Arumi.
Romansa mereka memicu serangkaian kejadian yang mengancam keberadaan keluarga tersebut, termasuk si buaya kesayangan.
Ide Film “The Crocodile Tears” Yang Tayang Premiere di TIFF
Film ini merupakan hasil produksi bersama antara Talamedia (produser Mandy Marahimin) dari Indonesia, Giraffe Pictures (produser Anthony Chen dan Teoh Yi Peng) dari Singapura, Acrobates Films (produser Claire Lajoumard) dan Poetik Film (produser Christophe Lafont) dari Prancis, dan 2Pilots Filmproduction (produser Harry Flöter dan Jörg Siepmann).
Cercamon, milik agen penjualan internasional kawakan Sebastien Chesneau, menangani penjualan di seluruh dunia.
Ide “Crocodile Tears” berasal dari dokumenter televisi tentang buaya yang ditonton Tampubolon.
“Salah satu adegannya adalah seekor induk buaya yang mencoba melindungi anak-anaknya dengan memasukkan anak itu ke dalam rahangnya. Saya merasa sangat menarik bahwa rahang yang sama bisa mengerikan dan pada saat yang sama begitu lembut dan penuh kasih sayang,” kata Tampubolon, seperti dilansir Variety.
Tampubolon menarik persamaan antara perilaku alami ini dan hubungan kekeluargaan di Indonesia.
“Di Indonesia, Anda tinggal bersama orang tua hingga usia 30 tahun, dan tidak ada masalah. Dan orang tua Anda selalu bisa ikut campur, meskipun Anda sudah dewasa. Itu menyenangkan, tetapi di saat yang sama itu sangat menyesakkan,” katanya.
Perjalanan proyek dari konsep hingga layar lebar sangat terbantu oleh partisipasinya dalam Southeast Asian Fiction Film Lab (SEAFIC). SEAFIC kini sudah tidak ada lagi.
Tampubolon memuji Raymond Phathanavirangoon, tokoh penting di SEAFIC. Pasalnya, ia menyadari potensi dalam ceritanya.
Pengembangan film melalui SEAFIC pada tahun 2018 terbukti menjadi batu loncatan yang signifikan.
“Dari situlah cerita ini punya kesempatan untuk dibuat. Meskipun butuh waktu enam tahun bagi Mandy [produser Mandy Marahimin] dan saya untuk bisa biayai syuting film,” ungkap Tampubolon.
Film ini direkam di lokasi di taman buaya sungguhan yang berjarak dua jam dari Jakarta.
Penghayatan Aktor Jadi Fokus Sutradara
Komitmen Tampubolon akan penghayatan film mencakup persiapan para aktor. Hal ini khususnya saat bekerja dengan buaya hidup.
“Kami menjalani sejumlah pelatihan keselamatan,” katanya. “Setiap kali kami berinteraksi dengan buaya, saya selalu melakukannya terlebih dahulu. Jadi, untuk menunjukkan kepada mereka bahwa itu aman. Setidaknya jika saya mati, saya yang akan mati terlebih dahulu,” imbuhnya sambil tertawa.
Pembuat film tersebut melihat “Crocodile Tears” sebagai kesempatan bagi penonton untuk menjelajahi dunia yang jarang terlihat di layar.
“Dalam ‘Crocodile Tears,’ Anda melihat dunia yang sangat berbeda dari apa yang biasa Anda lihat di teater atau televisi. Jadi, yang saya maksud adalah taman buaya dan orang-orang yang mencari nafkah sebagai pengasuh buaya. Mungkin itulah yang menarik bagi mereka,” katanya.
Di luar latar yang unik, Tampubolon berharap film tersebut akan menarik bagi penonton yang lebih muda yang bergulat dengan ketegangan antargenerasi.
Tampubolon kini tengah menggarap film keduanya, eksplorasi lain tentang dinamika orangtua-anak.
Setelah pemutaran perdananya di TIFF, “Crocodile Tears” bakal tayang di Festival Film Internasional Busan dan Festival Film BFI London.
BACA JUGA