Bintangtamu.id – Cerita rakyat Roro Mendut sangat populer terutama di kalangan masyarakat Jawa. Folklore tersebut mengisahkan tentang keteguhan seorang wanita cantik dari rakyat jelata yang berani berkata tidak pada kekuasaan yang ingin mengambil paksa ‘kecantikannya’.
Roro Mendut hidup di masa tanah Jawa dilanda kekacauan dan kecamuk perang tiada henti. Ambisi Sultan Agung, Raja Mataram penguasa Jawa kala itu, untuk memperluas wilayah kekuasaannya memunculkan perlawanan dan pemberontakan di mana-mana. Salah satu daerah yang memberontak terhadap Sultan Agung adalah Kadipaten Pati yang dipimpin Adipati Pragola.
Murka, Sultan Agung kemudian mengirim panglima perang andalannya, Tumenggung Wiroguno, untuk menumpas pemberontakan tersebut. Wiroguno sukses memadamkan pemberontakan dan membunuh Adipati Pragola.
Atas keberhasilannya tersebut, Sultan Agung menghadiahkan seluruh hasil rampasan perang kepadanya. Namun dari semua hadiah yang diterimanya, satu yang paling membuat kepincut Tumenggung Wiroguno, yakni seorang gadis cantik yang tinggal di pesisir Kadipaten Pati. Roro Mendut.
Kecantikan si gadis belia tak hanya dikagumi Tumenggung Wiroguno dan Adipati Pragola, tetapi juga menjadi incaran kaum adam di desanya.
Kisah Roro Mendut inilah yang menjadi tema utama film layar lebar dengan judul yang sama. Sementara pergolakan penuh darah di kerajaan Mataram menjadi penguat alur cerita.
Sutradara Ami Prijono betul-betul serius menggarap film yang dirilis pada tahun 1983 ini. Pemilihan Meriam Bellina yang baru berumur 17 tahun saat film diproduksi (1982), sangat brilian. Paras rupawan aktris blasteran Belanda, Jerman, Sunda, Jawa dan Makassar itu terasa pas untuk memerankan sosok Roro Mendut yang digambarkan sensual di film tersebut.
Namun karena agak cadel, suara Meriam Bellina diisi Anna Sambayon.
Untuk karakter Tumenggung Wiroguno yang bengis dan kejam, dibawakan nyaris sempurna oleh aktor legendaris WD Mochtar.
Hal itu terlihat ketika keinginannya menjadikan Roro Mendut sebagai selir ditolak mentah-mentah. Ekspresi wajahnya yang menampakkan kemarahan luar biasa, tak membuat nyali Roro Mendut ciut. Ia tetap enggan menjadi wanita pemuas syahwat orang paling kaya dan berkuasa di pesisir utara Jawa itu.
Akibatnya Wiroguno ngamuk sejadi-jadinya. Sebagai panglima tertinggi Mataram, ia tak menyangka keinginannya berani dicampakkan oleh seorang gadis dusun. Karena itu ia kemudian mengenakan pajak setinggi langit kepada Roro Mendut.
Ia berharap dengan kewajiban menyerahkan upeti tinggi, sang gadis impian akhirnya menyerah dan mau menjadi selirnya.
Namun Tumenggung Wiroguno kecele. Roro Mendut selalu bisa memenuhi pajak tinggi tersebut.
Mengandalkan kecantikan dan sensualitasnya, Roro Mendut berjualan rokok di pasar rakyat. Tak sembarang rokok. Rokok lintingan itu dihisapnya dulu baru kemudian dijualnya. Uniknya, semakin pendek dan semakin basah batang rokok yang dihisapnya, semakin mahal harganya. Ternyata orang-orang tetap antri membeli rokok bekas hisapan Mendut.
Dari situlah Roro Mendut mengumpulkan uang untuk membayar persembahan kepada Tumenggung Wiroguno.
Jalan cerita film semakin kompleks ketika Mendut berjumpa dengan tambatan hatinya. Seorang pemuda bernama Pronocitro, yang diperankan Mathias Muchus.
Sayangnya hubungan asmara mereka tidak berjalan mulus karena Tumenggung Wiroguno masih belum bisa melepas bayang-bayang Roro Mendut. Apalagi si gadis cantik ini hidup di dalam lingkungan kediaman Sang Tumenggung.
Tidak kehabisan akal, Pronocitro kemudian berpura-pura bekerja sebagai abdi Tumenggung Wiroguno agar bisa selalu dekat dengan kekasihnya.
Sampai suatu ketika Tumenggung Wiroguno yang sudah tak sabar dengan sikap Roro Mendut, menghendakinya sebagai selir. Malam itu juga ia meminta orang-orang suruhannya membawa Mendut ke kamarnya.
Mengetahui hal itu, Pronocitro segera mengajak Mendut kabur. Dengan mengendarai kuda curian mereka melarikan diri ke arah pantai.
Tumenggung Wiroguno yang diberitahu kaburnya Pronocitro dan Mendut, memutuskan untuk mengejar dengan para pengawalnya. Ia mengatakan pengejaran ini bukan semata untuk memburu gadis idamannya, tetapi karena ia menganggap sepasang kekasih itu sebagai simbol perlawanan terhadap kedigdayaan Mataram. Sehingga mereka berdua harus dihukum berat demi menegakkan wibawa Mataram sekaligus dirinya sebagai seorang panglima perang yang disegani.
Tumenggung Wiroguno bersama para pengawalnya menemukan Pronocitro dan Roro Mendut tepat di pantai utara. Setelah berduel satu lawan satu, Wiroguno berhasil menewaskan Pronocitro dengan kerisnya. Mendut yang merasa sangat sedih, memutuskan mengakhiri hidupnya dengan menusukkan keris Pronocitro ke tubuhnya sendiri.
Kisah tragis sepasang kekasih ini menjadi cerita rakyat Jawa yang melegenda. Bahkan hingga hari ini. Terutama tentang sosok Roro Mendut yang menjadi penggambaran seorang wanita muda tangguh, mandiri, pemberani serta setia pada apa yang diyakininya.
Cerita Roro Mendut awalnya merupakan trilogi novel karya Y.B. Mangunwijaya, seorang sastrawan yang juga dikenal dengan sebutan Romo Mangun. Ia menulis hikayat Roro Mendut dengan latar belakang kerajaan Mataram di abad ke-17.
Dalam layar lebar, ‘Roro Mendut’ diklasifikasikan sebagai film kolosal bergenre sejarah. Selain WD Mochtar, Meriam Belinna dan Mathias Muchus, film ini juga dibintangi sejumlah aktor/aktris kondang di jamannya. Mereka adalah Sofia WD, Bagong Kussudiardjo, Kies Slamet, Abdi Wiyono, Clara Sinta Rendra, Sunarti Soewandi, dll.
Meski sempat menuai kontroversi karena penonjolan sensualitas Meriam Bellina sebagai Roro Mendut, namun film ini menjadi salah satu masterpiece karya sineas tanah air.
Terbukti pada ajang Festival Film Indonesia di tahun 1983, ‘Roro Mendut’ mendapatkan Piala Citra untuk Penata Artistik Terbaik (A. Abidin). Sementara 7 kategori lainnya masuk nominasi, termasuk Film Terbaik, Sutradara Terbaik (Ami Prijono) hingga Pemeran Utama Terbaik (WD Mochtar).
Sayangnya di ajang yang sama, Meriam Bellina justru tak masuk dalam nominasi untuk Pemeran Utama Wanita Terbaik, walau pun aktingnya sangat bagus untuk seorang artis muda yang usianya belum genap 20 tahun.