Ulasan Film Budi Pekerti: Kuatnya Pengaruh Keviralan dan Media Sosial yang Bisa Hancurkan Seseorang

Raih Banyak Penghargaan di Mancanegara, Film ‘Budi Pekerti’ Segera Tayang di Netflix 21 Maret 2024
Film ‘Budi Pekerti’ yang meraih banyak penghargaan, segera tayang di Netflix. Instagram

Bintangtamu.id – Budi Pekerti adalah salah satu film yang meraih atensi di piala citra 2023 lalu. Bagaimana tidak? Film garapan Wregas Bhanuteja ini terasa dekat dengan kehidupan masyarakat saat ini tentang media sosial, viral, dan cancel culture.

Di era digital seperti sekarang rasanya peristiwa apa pun menjadi cepat viral. Seperti yang dialami oleh Putu Mbok Rahayu dan Bu Prani dalam Film Budi Pekerti Ini.

Bagaimana kisahnya? Simak dalam ulasan berikut ini, ya!

Sinopsis Film Budi Pekerti

Film ini berkisah tentang Bu Prani (Sha Ine Febriyanti), guru BK yang sedang dipromosikan menjadi Wakasek kesiswaan. Hal ini tentu menjadi angin segar di tengah pandemi. Terlebih saat itu bisnis suaminya bangkrut hingga membuat Pak Didit (Dwi Sasono) mengidap bipolar.

Peliknya kondisi yang dialami Bu Prani saat itu membuatnya sensi. Terutama saat ada bapak-bapak yang nyerobot antrian saat ia sedang membeli kue putu. Kue tradisional buatan Mbok Rahayu ini mendadak diserbu pembeli sejak viral. Akibatnya, semakin panjang antrian dan membuat orang tidak sabar untuk mengantri.

Namun teguran Bu Prani pada penyerobot ini tidak berakhir baik. Adu mulut yang keduanya berakhir viral setelah diunggah di media sosial. Hal ini tidak hanya berdampak bagi karir Bu Prani sebagai calon Wakasek. Namun juga bagi anak-anaknya.

Ulasan Film Budi Pekerti

Kisah Bu Prani dan keluarganya mengingatkan kita bahwa pesatnya informasi di era sekarang sangat mempengaruhi kehidupan banyak orang. Baik dari sisi positif maupun negatif.

Tak terkecuali penyebaran hoax, fitnah, dan ujaran kebencian yang menyudutkan salah satu pihak. Belum lagi semua ini ditunggangi oleh oknum demi mencapai keuntungan sepihak.

Padahal, tidak semua yang kita lihat di media sosial belum tentu benar. Namun keviralan suatu topik sering membuat banyak pihak cepat menyimpulkan sesuatu.

Terlebih ada data-data yang ‘seolah’ ilmiah. Padahal sama-sama belum pasti bisa dipertanggungjawabkan. Belum lagi soal buzzer yang semakin hari semakin meresahkan.

Bu Prani dan keluarganya adalah contoh dari cancel culture yang salah karena pengaruh kuatnya media sosial. Film ini juga menggambarkan sekilas tentang dampak pandemi di sektor ekonomi yang tidak main-main. Beberapa usaha Pak Didit bangkrut. Bahkan hingga mempengaruhi mentalnya.

Isu ini juga mengingatkan penonton tentang pentingnya kesehatan mental. Walau keluarga Bu Prani tergolong keluarga menengah ke bawah. Namun mereka tetap rutin ke psikolog.

Begitu pula dengan sosok Gora (Omara Esteghlal). Walau ia tampak sehat dan baik-baik saja, tapi ia tetap peduli dan datang mandiri ke psikolog saat menyadari ada kebiasaannya yang aneh.

Namun di sisi lain, kita juga tidak bisa cepat menyimpulkan tentang mereka yang rutin datang ke psikolog. Karena tidak semua pasien mengalami depresi atau stres. Bisa saja mereka adalah Gora Gora yang lain, yang hanya butuh pendampingan saat ada sesuatu yang aneh dengan perasaannya.

Terakhir, sesuai judulnya, film ini menekankan pentingnya sebuah budi pekerti. Karena dengan menanamkan kebaikan dalam kehidupan sehari-hari kita bisa menyelematkan diri sendiri dan orang lain.

Film ini ditutup dengan open ending. Kehidupan Bu Prani dan keluarga memang belum berakhir tapi juga sekaligus berakhir di tempat lama mereka. Penonton diberi ruang untuk merenung dan refleksi diri dari kisah keluarga sederhana ini.

Tinggalkan Komentar