Ulasan Film Bolehkah Sekali Saja Kumenangis: Bedah Peliknya Toksik Relationship dalam Keluarga

Prilly Bagikan Momen Reading Film ‘Bolehkah Sekali Saja Kumenangis’
Film Bolehkah Sekali Saja Kumenangis (Instagram/sinemakupictures)

Bintangtamu.id – Bolehkah Sekali Saja Kumenangis adalah salah satu film yang sangat direkomendasikan. Dirilis di tahun 2024, film ini mengangkat isu mental health, KDRT, dan realita yang banyak dialami orang.

Bolehkah Sekali Saja Kumenangis punya kisah yang ringan dengan durasi singkat. Namun cukup padat. Sehingga membekas di hati penonton.

Bagaimana keseruannya? Simak ulasannya dalam artikel ini ya!

Sinopsis Bolehkah Sekali Saja Kumenangis

Film ini berkisah tentang Tari (Prilly Latuconsina), bungsu yang mengalami KDRT oleh ayahnya, Pras (Surya Saputra). Kakaknya kabur karena kondisi rumahnya yang toksik. Ibunya, Devi (Dominique Sandra) kerap mendapat kekerasan hingga membuatnya tidak tahan lagi.

Sementara Tari, seorang pekerja kantoran yang juga ikut kelompok diskusi tentang masalah mental di Life Mates. Bersama teman-temannya yang lain, mereka didampingi psikolog untuk bisa menjalani hidup yang lebih tenang.

Suatu ketika, Tari bertemu dengan Baskara (Pradikta Wicaksono). Ia adalah mantan pebasket dan anak dari pebasket Indonesia. Sayangnya, kiprahnya tidak secemerlang ayahnya.

Kegagalan ditambah masalah yang ia timbulkan membuatnya terpukul dan kabur dari rumah. Ia merasa tidak bisa membanggakan dan tidak menjaga nama harum ayahnya.

Setelah semua yang terjadi, Baskara pun memutuskan untuk bekerja sebagai orang biasa. Kebetulan, ia satu kantor dengan Tari. Tak hanya itu, mereka juga kembali bertemu di Life Mates. Sejak saat itu keduanya menjadi semakin dekat.

Ulasan Bolehkah Sekali Saja Kumenangis

Film ini mengangkat isu sensitif. Jadi bijak lah dalam memilih tontonan. Namun di balik isu yang diangkat, film ini tergolong masih nyaman ditonton.

Tari dan Devi menggambarkan bagaimana korban KDRT dan toksik relationship menjalani hari secara tidak normal. Dimana Devi selalu merasa kasihan hingga membuatnya egois.

Bertahun-tahun hidup bersama suami yang abusive, tanpa sadar ia telah dimanipulasi. Sehingga ia selalu berpikir Pras akan berubah. Padahal, rasa kasihan itu yang membuatnya dan kedua anaknya semakin hancur.

Sementara Tari, hidup dalam tekanan selalu membuatnya cemas dan ketakutan. Hingga sadar tidak sadar ia selalu memendam semuanya sendirian. Ia juga menjadi people pleasure, selalu pura-pura kuat, dan tampak murung.

Namun kondisinya perlahan membaik sejak ia bertemu dengan Baskara. Terlebih saat ia dan Devi memutuskan kabur dari rumah.

Namun ketenangan itu tidak berlangsung lama karena Devi yang sudah terlanjur dikontrol dan dimanipulasi oleh Pras membuat mereka kembali ke neraka.

Lagi-lagi karena rasa kasihan dan keyakinan kalau dia akan berubah membuatnya menjadi egois.

Gambaran ini menunjukkan kengerian dari lingkaran toksik yang membuat seseorang sulit lepas darinya. Bahkan mirisnya, mereka tidak merasa sebagai korban sehingga tetap bertahan dalam kondisi tersebut.

Di sisi lain, sosok Baskara juga menunjukkan peliknya isi pikiran membuat seseorang terpuruk. Bahkan jauh dari keluarga dan mengacaukan segalanya. Padahal, semua yang ada di kepala belum tentu benar.

Karena nyatanya, orang tuanya tidak pernah menuntut apa pun darinya. Sementara Baskara sudah merasa menjadi orang yang gagal.

Meski mengangkat topik sensitif, tapi film ini juga manis. Interaksi Tari dan Devi tampak hangat. Begitu juga saat Baskara tampak tulus ada untuk Tari. Jadi film ini tak melulu tegang.

Akhir kata, film ini juga kembali mengingatkan penonton bahwa setiap trauma butuh psikolog. Ke psikolog juga bukan berarti gila. Bahkan tak perlu menunggu masalah, kita tetap bisa meminta bantuan profesional.

Para korban toksik relationship memang harus disadarkan sebelum terlambat. Kalau mereka butuh konselor pernikahan.

Film ini ditutup dengan Tari dan Baskara yang masih terus berproses menyembuhkan diri masing-masing. Meski kondisi sudah semakin membaik.

Skor: 8,5/10

Tinggalkan Komentar